Kamis, 10 November 2011

GERAKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebuah gerakan seringkali menghadirkan beragam kejutan ketika disuguhkan kepada publik di awal kemunculannya. Kejutan-kejutannya juga kerap menghentak ruang hadir publik yang dibidiknya. Ruang publik yang memang bebas dan terbuka menjadi arena kompetisi beragam kejutan yang ditawarkan dan ditiupkan oleh sebuah gerakan. Kompetisi yang lahir menghadirkan berbagai soal dan jawab yang kerap membuat public kehilangan daya tangkap dan daya serap dalam menggapainya secara kritis dan komprehensif. Tak terkecuali dalam sebuah gerakan keagamaan. Apapun yang ditiupkan oleh ajaran gerakan keagamaan, karena memang baru dan penuh kejutan, maka lahirlah berbagai konflik dan paradoks dalam bersikap di tengah kecamuk sosial.
Ada beberapa gerakan, walaupun penuh kejutan, tetap mendapat ruang public yang special, karena gerakan ini mampu berdiri tegak dengan akar kekuatan budaya local yang kaya akan khazanah dan kearifan. Tidak sedikit yang galau dan terpental, karena kering dengan kearifan tradisi local yang disinggahinya. Kita bisa membaca gerakan Wahabi di Indonesia. Gerakan Wahabi datang dengan berbagai kejutan doktrin yang menghentakkan masyarakat Muslim Indonesia. Gerakan ini dengan “serampangan” datang untuk mengubah “segalanya”, padahal sayap gerakan yang terbangun ternyata miskin dari kearifan akar local yang disinggahinya. Tak pelak, gerakan Wahabi menyajikan fenomena kejutan sayap patah sebuah organisasi keagamaan, sehingga gerak lajunya hanya akan menabrak tembok tradisi yang terpegang kuat dalam kearifan Islam lokal.
B.     Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
Mengetahui sejauh mana peranan pembaharuan islam “ Gerakan Wahabi “ terutama di Indonesia.

C.    Tujuan

Mengetahui perbedaan – perbedaan dan perbandingan gerakan – gerakan islam yang tersebar di dunia dan terutama di Negara indonesia

D.    Manfaat

1.      Bagi penulis

Menambah wawasan pengetahuan dan ilmu pendidikan islam secara luas

2.      Bagi pembaca

Memberikan wawasan tentang arti pembaharuan dan pendidikan islam


























BAB I
PEMBAHASAN
GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM (I)

A.    Pengertian istilah

1.Harun Nasution
Cendrung menganalogikan istilah “pembaharuan” dengan “modernisme”, karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adt-istiadat, institusi lama, dan sebagainya unutk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuna modern.
Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas ( Azra, Azyumardi : 1996 )
2.Revivalisasi

Menurut paham ini, “pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan kaum Salaf ( Azra, Azyumardi : 1996 )
3.Kebangkitan Kembali ( Resugence )

           Dalam kamus Oxford, resurgence didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” (the act of rising again ). Pengertian ini memnagandung 3 hal :
a.suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dankehormatan dirinya.
b.“kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa keadaaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup Islam saat ini.
c.Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep, mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain
( Muzaffar, Chandra : 1988 )

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PEMBAHARUAN ISLAM
1.Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generasi baru muslim.
2.Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme
3.Gaya hidup elit sekuler di negara-negara Islam.
4.Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara politik.
5.pencarian keamanan psikologis diantara kaum pendatang baru di daerah perkotaan.
6.Lingkungan kota
7.Ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjaknya harga minyak.
8.Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali peradaban Islam abad ke 15 Hijriah ( Mazaffar, Chandra ;1988 )
CIRI-CIRI PEMBARUAN ISLAM
1.Kepercayaan yang kuat bahwa masyarakat harsu ditata atas dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah / hadist nabi
2.Kebuadayaan barat harus ditolak. Meskipun ada yang mau menerima kemajuan-kemajuan barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi ( Muzaffar, Chandra ; 1988 ).
GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM
Muhammad Bin Abdul Wahab ( 1703-1787 )
Beliau dilahirkan di Uyainah, sebuah dusun di Najed bagian Timur Saudi Arabia. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama yang ketat di bawah pengaruh mazhab Hanbali, yaitu mazhab yang memperkenalkan dirinya sebagai aliran Salafiyah.
Muhammad Bin Abdul Wahab menamakan gerakannya, “Gerakan Muwahidin yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk mensucikan dan meng-Esakan Allah dengan semurni-murninya yang mudah, gampang dipahami, dan diamalkan persis seperti Islam pada masa permulaan sejarahnya.
Gerakan yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab ini dinamakan “Gerakan Wahabi” sebagai ejek-ejekan oleh lawan-lawannya.
Hal-hal yang ditekankan oleh gerakan ini adalah :
1.Penyembahan kepada selain Allah adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2.Orang yang mencari ampunan Allah dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan musyrikin.
3.Termasuk perbuatan musyrik memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-nabi atau wali atau Malaikat ( seperti sayidina Muhammad ).
4.Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Alqur’an dan Sunnah, atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata-mata.
5.Termasuk kufur dan ilhad yang menginkari “Qadar” dalam semua perbuatan dan penafsiran Qur’an dengan jalan ta’wil.
6.Dilarang memaki buah tasbih dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid ) cukup menghitung dengan jari.
7.Sumber syariat Islam dalam soal halal dan haram hanya Alqur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul. Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha tentang haram-halal tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8.Pintu Ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan Ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Sifat gerakan Wahabi yang keras, lugas, dan sederhana benar-benar tenaga yang sanggup mengoncangkan dan membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang lelap tidur dalam kegelapan. Bersama dengan Ibnu Su’ud, pendiri Dinasti Su’udiyah ( Saudi Arabia ) berjuang dengan sikap pantang menyerah. Ibnu Su’ud dalam menjalankan roda pemerintahannya dilhami oleh syaikh Muhammad
3 Tanggapan Gerakan pembaharuan islam
  1. ‘Kebangkitan islam’ adalah suatu hal yang lumrah, wajar dan normal. Sebagaimana kebangkitan kita dari tidur. Kita menginginkan ’suatu hal’ yang dulu ada namun ‘kini hilang tak berbekas’.
Kita mulai berpikir, bagaimana caranya agar ’seperti dahulu’. Namun kadang kita lupa bahwa terjadinya sesuatu ada sebab dan akibat yang mendasar dan penting.
Kita katakan bahwa api yang membakar minyak dan memanaskan panci sehingga kita bisa memasak. Namun kita lupa siapakah yang menyebabkan ‘api’ menjadi panas dan bukannya dingin.
Bukan fakta yang menyebabkan kita ‘tidak mampu membangkitkan islam’ namun lebih kepada ‘cara berfikir kita’ yang berbeda.
Sebagaimana para Nabi dan Rasul tidak menginginkan banyaknya pengikut. Namun lebih kepada ‘menyampaikan apa yang telah diamanatkan untuk disampaikan’.
Mirip dengan pikiran kita yang kadang mempertanyakan ‘mengapa para ulama membahas suatu hal yang tidak penting, misalnya seekor lalat yang jatuh kedalam minuman kita’, dan tidak membahas secara detail tentang ‘kebangkitan islam’.
Secara tidak sadar kita telah melupakan ‘hakekat’ dibalik cerita ‘lalat’. Kita belum mampu ‘memahami’ bahwa bukan sekedar persoalan ‘lalat’ yang disampaikan. Tapi lebih kepada persoalan ‘amanat’ berupa ‘berita’ tentang ‘lalat’ yang disampaikan dari Allah kepada Rasulullah kemudian ke ulama dan ke kita.


B.     Gerakan Wahabi di Indonesia
Ada beberapa gerakan, walaupun penuh kejutan, tetap mendapat ruang public yang special, karena gerakan ini mampu berdiri tegak dengan akar kekuatan budaya local yang kaya akan khazanah dan kearifan. Tidak sedikit yang galau dan terpental, karena kering dengan kearifan tradisi local yang disinggahinya. Kita bisa membaca gerakan Wahabi di Indonesia. Gerakan Wahabi datang dengan berbagai kejutan doktrin yang menghentakkan masyarakat Muslim Indonesia. Gerakan ini dengan “serampangan” datang untuk mengubah “segalanya”, padahal sayap gerakan yang terbangun ternyata miskin dari kearifan akar local yang disinggahinya. Tak pelak, gerakan Wahabi menyajikan fenomena kejutan sayap patah sebuah organisasi keagamaan, sehingga gerak lajunya hanya akan menabrak tembok tradisi yang terpegang kuat dalam kearifan Islam lokal.
Sayap patah inilah yang terekam dalam buku bertajuk “Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik)”. Buku hasil penelitian kolektif ini memberikan gambaran besar gelombang gerakan Wahabi di Indonesia. Prof Yudian memberikan analisis menarik dalam gelombang Wahabi ini. Pertama, perang padri di Sumatera Barat (1821-1837). Kedua, pemberontakan di Banten (1888) sebagai pengauh Pan Islam, yang merupakan internasionalisasi formal gerakan Wahabi di tangan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-‘urwah al-wutsqa (tali yang kokoh).
Ketiga, berdirinya Sarekat Islam (1905) sebagai wujud nasionalisasi Pan Islam, yang kemudian didukung oleh Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914) dan Persatuan Islam (1923), khususnya dalam hal akidah dan fikih. Keempat, gerakan darul Islam/tentara Islam Indonesia (1949-1963). Yudian juga menemukan gelombang kelima (1970) yang terwujud dalam salafi antitasawuf, merupakan  ekspor Wahabi dengan sporsor “oil money”. Gelombang kelima dilahirkan dalam rahim pesantren, kemudian dalam gelombang selanjutnya, ketika memasuki penghujung abad 20, gerakan Wahabi sudah masuk dalam gerakan kampus yang tampil kolosal dalam berbagai arena sosial politik.    
Selain menjelaskan arah gelombang Wahabi tersebut, buku ini juga berhasil memetakan arah wahabisasi yang berkembang di Indonesia. Hamidah secara khusus mengkaji wahabisasi terkait gerakan Padri. Gerakan Padri menjadi akar kuat, karena sampai menghadirkan perang yang kemudian waktu menjadi monument yang selalu terngiang dalam memori public. Dari Padri inilah, gerakan Wahabi terus lestari. Tetapi dari Padri inilah, terlihat sekali bahwa sayap gerakan Wahabi sudah patah sejak awal mulanya. Gerakan Wahabi telah patah sayapnya karena mengingkapi kearifan tradisi local, yang mereka sendiri tidak memahami dan mendalami kearifan sebuah tradisi local. Awal mula inilah yang bisa digunakan sebagai cermin gerakan Wahabi lebih lanjut di berbagai daerah di Indonesia.

Kemudian Mansur mengkaji gerakan wahabisasi yang berkembang di Jawa Barat. Mansur melihat gerakan wahabisasi modern selain terkait dengan jaringan Timur Tengah, juga snagat terkait dengan politik kaum militer. Terbukti dalam berbagai aksi-aksi yang mereka lakukan sangat terkait dengan politik militer yang sedang bermain dalam gelanggang politik di Indonesia. Mansur melihat gerakan wahabisasi ini di Jawa Barat yang terekam di berbagai daerah, diantaranya adalah Cirebon, Inderamayu, Bandung, Garut, dan Sukabumi. Berbagai daerah ini bermunculan berbagai organisasi dan lembaga baru yang sangat kental doktrin dan afilisasinya dengan kaum Wahabi Internasional. Mansur melihat wahabisasi yang berkembang di Jawa Barat terletak pada tataran pemahaman teologi dan implementasi hukum-hukum Islam yang seringkali dipahami secara rigid dan tekstual.
Selanjutnya Khoirul Anam mengkaji gerak wahabisasi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Dalam temuan penelitiannya, ternyata sudah banyak pesantren dan lembaga pendidikan formal lainnya yang berdiri dengan afilisasi doktrin Wahabi. Ketiga daerah yang diteliti Khoirul Anam ditemukan pesantren eksklusif yang tertutup, bahkan sangat tertutup dengan masyarakat sekitar, sehingga aktifitas sosialnya kadang mengundang tanya dan curiga dari masyarakat sekitar. Anam melihat gerakan wahabisasi di tiga daerah tersebut telah mengalami perkembangan pesat, terlebih terkait dengan dukungan dana yang memadai, walaupun mereka sangat tertutup dengan urusan finansial ini. Pengakajian Wahabi ini juga dilengkapi oleh penelitian Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) di Solo dan wahabisasi di Universitas Palembang yang oleh Kasinyo Harto disebut sebagai kelompok fundamentalis


















C.    Pengertian Wahabi
Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya merupakan pengikut mazhab Hanbali, kemudian berijtihad dalam beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kitab, Shiyânah al-Insân, karya Muhammad Basyir as-Sahsawani.1 Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai bermasalah oleh ulama Sunni yang lainnya.
Nama Wahabi sendiri telah dikubur oleh para pengikut dan penganutnya. Boleh jadi karena sejarah kelam pada masa lalu. Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut mereka, ajaran Muhammad bin Abdul Wahbab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Muwahhidûn, yang berarti “orang-orang yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.
Secara historis, gerakan Wahabi telah mengalami beberapa kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan murni yang bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah, kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini mendapatkan penentangan. Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung halamannya dan berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu mendapat perlindungan dari Muhammad bin Saud, yang notabene bermusuhan dengan Amir Uyainah. Dalam kurun tujun tahun, sejak tinggal di Dar’iyyah, dakwah Wahabi berkembang pesat.
Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah agen Inggris, menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi. Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud. Namun, pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.
Ketika Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765 M, kepemimpinannya diteruskan oleh anaknya, Abdul Aziz. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari gerakan ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama 31 tahun (1957-1788 M), gerakan ini stagnan.
Namun, setelah Abdul Aziz, yang juga agen Inggris itu, mendirikan Dewan Imarah pada tahun 1787 M, sekaligus menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat dalam ekspansi kekuasaan yang didukungnya, sekaligus menyebarkan paham yang dianutnya. Tahun 1788 M, mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode baru ini, gerakan ini menimbulkan instabilitas di wilayah Khilafah Utsmani; di semenanjung Arabia, Irak dan Syam yang bertujuan melepaskan wilayah tersebut dari Khilafah. Gerakan mereka akhirnya berhasil dipukul mundur dari Madinah tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di Dar’iyyah pun berhasil diratakan dengan tanah oleh Khilafah tahun 1818 M. Sejak itu, nama Wahabi seolah terkubur dan lenyap ditelan bumi.2
Namun, pandangan dan pemikiran Wahabi memang tidak mati. Demikian juga hubungan penganut dan pendukung Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.
Metamorfosis berikutnya terjadi ketika mereka mengubah nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi digunakan, mungkin karena rentan. Akhirnya, mereka lebih suka menyebut diri mereka Salafi. Namun, pandangan dan cara mereka berdakwah tetap sama. Inilah fakta sejarah tentang Wahabi. Dari fakta ini jelas sekali, bahwa Wahabi (Salafi) ikut membidani lahirnya Kerajaan Arab Saudi. Karena itu, tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi) senantiasa menjadi pendukung kekuasaan Ibn Saud sekalipun Wahabi (Salafi) bukan merupakan gerakan politik.
Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah aktivitasnya.3 Meski begitu, Hizbut Tahrir tidak pernah terlibat dalam pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia. Hizb juga tidak pernah terlibat dalam dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua negara yang ada di seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan memerintah berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam pandangan Islam, menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat Islam di seluruh dunia adalah Khilafah, yang notabene pernah dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn Saud, termasuk di dalamnya menggunakan Wahabi.
Pandangan keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam masalah akidah, misalnya, Wahabi, banyak mengambil pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid rububiyyah. Tauhid yang pertama bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).4 Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid tersebut menjadi tiga: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.5
Ini berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak mengenal klasifikasi seperti ini. Dalam pembahasan tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan asma dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la takyîf wa la tamtsîl (menetapkan sifat dan asma Allah, tanpa menyelewengkan, mengabaikan, mendes-kripsikan tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang lain), sebagaimana lazimnya Wahabi.6 Hizb membahas sifat justru untuk meluruskan perdebatan yang tidak berkesudahan, antara Muktazilah, yang menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang menyatakan, bahwa sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya. Dalam pandangan Hizb, perdebatan seperti ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan, karena tidak berangkat dari fakta, melainkan didasarkan pada asumsi mantik.7
Bagi Wahabi, masalah utama umat Islam adalah masalah akidah; akidah umat ini dianggap sesat, karena dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas dakwah mereka difokuskan pada upaya purifikasi (pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Akidah dimurnikan dari syirik, baik syirik ashghar (syirik kecil), akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-samar); juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai membuat metode yang tidak dicontohkan sebelumnya. Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah dalam adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama, menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah, Muktazilah, Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi al-’ibâdah.8
Ini berbeda dengan Hizb. Pandangan seperti ini, menurut Hizb, juga berbahaya karena menganggap seolah-oleh umat Islam belum berakidah Islam. Ini tampak pada pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain kelompok mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka tidak jarang saling sesat-menyesatkan terhadap kelompok sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.
Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi.
Dengan pandangan Wahabi seperti itu terhadap akidah umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang konstruksi masyarakat—yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system—maka wajar jika sejarah Wahabi berlumuran darah kaum Muslim. Situs-situs penting dan bersejarah di dalam Islam pun mereka hancurkan. Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari syirik dan khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb. Hizb tahu persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya tidak pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik, seperti situs-situs penting dan bersejarah; melainkan menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang diyakini dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai dakwah fikriyyah lâ ‘unfiyyah (intelektual dan non-kekesaran).

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
Berdasarkan isi makalah diatas, maka penulis menarik suatu kesimpulan yaitu :
Pendek kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas dan nyata. Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti tentang kedua-duanya, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb, agar disalahpahami, dibenci dimusuhi dan dijauhi oleh umat. Inilah yang sebenarnya hendak dilakukan. Lalu siapa yang diuntungkan dengan semuanya ini, tentu bukan Islam dan kaum Muslim, melainkan kaum kafir penjajah dan para boneka mereka, yang tetap menginginkan negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia, ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh.
Jadi ternyata pembaharuan islam tersebut mengandung banyak arti luas sehingga mengakibatkan banyak timbulnya komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok yang mengatas namakan mereka sebagai             pembaharu islam












DAFTAR PUSTAKA

-         Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kri, ,Agus Moh. Najib dkk, : Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D.,,, Pesantren Nawesea Press Yogyakarta
-         ISLAMIC THOUG,,,www.gogle.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar